Jumat, 16 Desember 2011

Kumpulan Cerpen

DILEMA 13 Juli 2010
 BERAKHIR DENGAN KETERSIKSAAN

Dini hari itu, tatkala hujan turun dengan lebat, Indha mendadak terbangun dari tidur lelapnya. Bukan gelegar guntur yang membangunkannya, tapi suara melengking Pasha benar-benar kian menyempurnakan bayangannya tergiang di ufuk hatiku. Tak terasa, belum juga tuntas Ungu mengakhiri “Cinta dalam Hati” itu, mataku mulai merah dan meneteskan airnya. Leleh ke pipiku. Jatuh ke Keyboard laptopku. Beberapa kali ku berusaha mencampakkan senyumnya, bayangan wajahnya, rayuannya, kata-katanya, mimpi-mimpinya juga tangisnya.  Masih terasa wajahnya memerah ketika kuputuskan bahwa semuanya harus berakhir demi kebaikan kita berdua, demi masa depan kita berdua karena keadaan yang tak berpihak kepada kita. Air matanya menetes hingga sebungkus tisu nyaris habis karenanya. Wajahnya yang tampan kini begitu kusut. Hanya satu kata yang terucap dari balik getaran tenggorokannya, “Semoga kamu bahagia...”
Aku terhenti di ambang pintunya, antara melangkah maju dan pergi, lalu semuanya berakhir. Tapi, tak urung kepalaku kembali menoleh pada tubuhnya yang tak berdaya yang membuat hati dan jiwaku tersayat-sayat. Ya Tuhan, dia sungguh adalah manusia, sama seperti aku, punya tubuh, bibir, mata, cinta, perasaan, sayang, cemas, stres, dan hancur. Dia sungguh adalah manusia sempurna, yang kini terpuruk olehku, laksana tak ada guna lagi untuk hidup. Inikah rasanya cinta tak harus memiliki itu? Akhirnya, aku pun langsung beranjak melangkah pergi, meninggalkan kamar yang tak besar dan bagus itu yang menyaksikan kesetiaan cintanya padaku selama ini. Aku pun berkata “ Semoga kamu pun bahagia...”
Hari demi hari kulalui dengan keadaan yang tak biasa, yang sungguh membuatku tersiksa dan tak bahagia. Semua orang tercinta yang selalu ada di dekatku pun kini seolah kehilangan makna dan rasa. Yang hidup di hatiku hanyalah wajahnya, senyumnya, tawanya, candanya, tangisnya dan seabrek kenangan. Beratus kali aku mengirim SMS, berpuluh-puluh kali aku menelponnya, tapi tak ada satu pun yang terbalas dan tersambungkan. Dalam hati aku yakin, dia sengaja ingin melakukan ini untuk melupakannku, menghapuskan memori yang menekan jiwanya. Biarlah itu menjadi pilihan terbaik baginya, meski pun sebenarnya aku rindu dengan balasan SMS darinya,ingin tahu kabarnya, di mana sekarang berada dan apa kegiatannya sekarang.
Tak ada yang dapat mengetahui gemuruh jiwaku yang berhempas melebihi dahsyatnya angin puting beliung. Aku tetap berusaha menjadi jiwaku yang terpuruk ini. Aku tak ingin siapa pun mengetahui apa yang terjadi pada diriku ini, sehingga semua orang berpikir aku baik-baik saja. Aku tak ingin ada orang lain yang berada dalam denyut jiwanya yang kini masih selalu ada dan menyala di dalam jiwaku.
Sering kali aku menduga apakah rasa sakit berpisah itu yang kini bermetamorfosis menjadi rasa rindu yang sesekali meledak di dalam hatiku. Apakah dia di sana juga merasakan hal yang sama? Atau ini hanya perasaanku yang begitu mencintai dirinya? Oh Tuhan..., jangan-jangan aku sekarang begitu rindu padanya. Saat sejarah itu mulai teringat lagi olehku semuanya begitu tak terdunga. Sosok yang penuh dengan kemesraan, penuh tawa dan bahagia itu kini tak lagi terukir karena olehku. Keputusanku baginya begitu menghacurkan jiwa dan raganya.
“Ah, bodoh”! desahku sambil berusaha menghapus wajahnya ke sosok manusia tampan dalam majalah aneka yess itu. Adly Faiuruz. Wow... artis yang luar biasa, sosok yang patut dijadikan teladan. Belum tuntas kubaca biografi Adly Fairuz, sebuah SMS masuk ke inbox-ku, “Aku tak pernah melupakanmu, Cinta bertepuk sebelah tangan.
Oh My God!!!
Kupelototi lagi HP-ku, ku baca pesan itu. Pasti dia! Segera kutelepon balik, ada nada panggilan namun tak ada jawaban. Mengapa dia tak mengangkatnya? Hujan yang masih rintik. Kucoba lagi menghubunginya tapi tak juga diangkatnya. Lewat SMS aku berkata   “Tolong ankat, aku rindu dengan suaramu”! Kirim. Menunggu balasannya di antara gerimis hujan yang terus mengguyur laksana membiarkan tubuhku terustak berdaya. Rekam wajahnya kini hadir kembali. Matanya yang menatap teduh hatiku, mengingatkanku pada kisah yang dulu pernah terajut.
Pliss..., balas SMS-ku! Pintaku dalam hati.
Hingga malam yang terus menampakkan kegelapannya dalam dekapan mendung yang menyelimuti wajah langit, SMS-ku tak juga kunjung dibalas.
Keesokan harinya aku berusaha menemui beberapa teman lamanya dan menanyakan keberadaannya sekarang. Tentu, aku tak mengatakan bahwa aku rindu kepadanya, bahwa aku pernah menjalin cinta dengannya, karena mereka tahu bahwa keadaanku tak memeungkinkan untuk menjalin hubungan dengannya. “Aku ingin meminjam buku karangan dari kumpulan puisi ciptaannya, pliss bantu aku. Akhirnya dapat juga! Yes! Rupanyadia melanjutkan kuliahnya di Universitas Negeri Makassar. Kampus yang sama denganku, tapi berbeda jurusan. Itulah sebabnya aku tak pernah bertemu dengannya.
“Jangan tutup telponku” kataku membuka obrolan.Pliss! Aku rindu denganmu. Jangan bahas itu lagi, aku sudah punya kehidupan sendiri sekarang. Aku lagi sibuk jadi tolong jangan ganggu aku, sahutnya datar.
“ Pliss, jangan tutup!. Apa kamu sudah punya pacar?” Sergahku.
“Ya, dan aku bahagia dengannya.”
          Ha? Tidak.tidak.tidak, kamu pasti membohongiku. “Benarkah kamu bahagia dengannya?” tanyaku lagi.
          “Ya...”
          “ Apa itu benar?”
          “Ya...”
          “Aku tidak percaya,” tegasku. Tiba-tiba telepon terputus dan tak ingin tersambung lagi. Dengan letih, wajahku yang bahagia mendengar suaranya kini terhentikan oleh perkataan n ucapan yang begitu manyakitkan. Sudah punya pacar? Oh My God...Benarkah dia tak cinta lagi padaku? Tapi, mengapa ia berkirim SMS itu padaku?
          Perasaan kecewa yang kini menggerogoti jiwaku terputus ketika telepon genggam milikku berdering menandakan pesan masuk.  Nomornya berbeda dengan nomor yang kemarin. “ Aku tak bisa membohonngi perasaanku yag juga masih cinta denganmu tapi aku harus tetap menjalani hidupku. Kamu pun begitu. Biarkan semua ini hidup di dalam hatiku, hatimu. Belum sempat kubalas, SMSnya pun masuk lagi. “Kumohon, jangan hubungi aku lagi selamanya. Biar kubawa mati cintaku padamu. Plis,plis, lakukan itu untuk cintaku.”
          Kubayangkan jari-jarinya ketika mengetik pesan itu di Blackberynya. Kubayangkan dengan jelas bibirnya yang sudah ku ketahui setiap lekukannya gemetar saat mengeja setiap kata yang dikirimkannya untukku. Apalagi hatinya? Cintanya? Dan perasaannya?
          Di sini, aku pun merasakan hal yang sama. Bayangan dan kenanganku dengannya masih ada  di dalam jiwaku. Tak ada satu pun orang yang tahu tentang perasaanku saat ini kecuali aku dan Tuhan. Cinta ini begitu bermakna tetapi tak terwakilkan oleh bahasa apapun. Cukup ia di sana, abadi untuk selamanya.
          Sekarang kini ku hidup bersama kekasih baruku. Orang yang begitu menyayangiku, memberikan kesetiaan dan perhatian kepadaku. Aku bangga padanya. Tapi, aku pun tak bisa membunuh rasa cinta dalam hati ini. Dia adalah segalanya. Kebaikan yang tak ada tandingannya, pengertian dan kasih sayang yang dia berikan kepadaku sungguh ternilai sempurna bagiku. Tapi mengapa aku tak bisa melupakannya dari jiwa ini. Apakah aku salah? Sosoknya selalu ada di saat aku bersamanya.
          Aku tak tahu harus manjawab apa. Kekasih baruku ini sangat memegang komitmen dengan pasangannya, yang mencurahkan hidupnya untuk kebahagiaan seluruh orang-orang terdekatnya. “Sering aku merasa seperti pecundang di hadapan pasangnku yang sekarang, karena sering aku membayangkan sosok cinta dalam hati itulah yang ada padanya. Aku seperti penghianat! Aku  tersiksa dengan keadaan ini, tapi aku tak ingin menyakiti pasanganku ini. Dan, aku memilih menjalani ketersiksaan cinta dalam hati ini demi kebahagiaan pasanganku ini. Sungguh cinta tak akan pernah bisa dibunuh oleh apa pun dan siapa pun. Sumpah cinta akan selalu ada bersama sejumlah kenangan masing-masing. Setiap cinta akan punya ruangnya sendiri, rumahnya sendiri, di kedalaman hati setiap manusia.Sebab, setiap cinta memang tak sama dan tak akan pernah sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar